Maudy Ayunda Rilis Buku Kedua “Simfoni Sunyi”, Perpaduan Filsafat, Musik, dan Pengembaraan Jiwa

Jakarta – Setelah sukses dengan buku pertamanya Dear Tomorrow yang menjadi bestseller nasional, artis, penulis, sekaligus aktivis pendidikan Maudy Ayunda kembali merilis karya literasi terbarunya berjudul “Simfoni Sunyi”. Buku setebal 350 halaman ini bukan sekadar kumpulan tulisan biasa, melainkan eksplorasi mendalam mengenai perjalanan batin, kesunyian sebagai ruang refleksi, serta keterhubungan antara musik, filsafat, dan eksistensi manusia.

Dirilis secara eksklusif oleh penerbit Bentang Pustaka dan diluncurkan dalam sebuah diskusi publik di Perpustakaan Nasional Jakarta, buku ini langsung menyita perhatian kalangan intelektual muda, seniman, dan pecinta literasi. Tak sedikit yang menyebut bahwa Simfoni Sunyi adalah salah satu karya paling matang dan personal dari Maudy.


Isi Buku: Puisi Reflektif, Esai Filosofis, dan Catatan Perjalanan Jiwa

“Simfoni Sunyi” dibagi menjadi tiga bagian besar:

  1. Nada-Nada yang Tak Terucap – Kumpulan puisi dan monolog batin tentang kesendirian, cinta yang tak sempat terjadi, serta dialog internal yang sering disembunyikan.

  2. Resonansi Pikiran – Esai-esai pendek yang membahas pandangan Maudy terhadap tokoh-tokoh filsafat seperti Søren Kierkegaard, Simone Weil, dan Alan Watts, serta bagaimana itu terpantul dalam kehidupannya sebagai publik figur.

  3. Jejak dalam Diri – Catatan perjalanan saat ia belajar di Oxford dan Stanford, serta proses menemukan suara otentiknya sebagai manusia di tengah tuntutan publik dan budaya populer.

Dalam pengantarnya, Maudy menulis:

“Kita hidup di dunia yang terlalu bising. Namun, dalam sunyi, saya mendengar suara saya sendiri untuk pertama kalinya—dan itu menakjubkan.”


Perpaduan Seni dan Intelektualitas

Buku ini juga dilengkapi dengan kode QR eksklusif yang mengarahkan pembaca ke soundtrack orisinal yang diciptakan sendiri oleh Maudy sebagai latar dari setiap bab. Musik instrumental dengan piano, cello, dan suara alam menghadirkan pengalaman membaca yang immersif, nyaris seperti menyaksikan sebuah film dalam bentuk kata-kata.

Soundtrack berjudul Whispers in Stillness bahkan telah tersedia di platform musik seperti Spotify dan Apple Music, serta menjadi trending di kategori Contemporary Instrumental Asia.


Dukungan dari Dunia Literasi dan Akademisi

Buku ini mendapatkan ulasan positif dari banyak tokoh. Penulis Dee Lestari menyebut karya ini sebagai:

“Perjalanan spiritual yang dituturkan dengan keanggunan estetis. Sunyi tak lagi menakutkan, melainkan menginspirasi.”

Sementara itu, budayawan Butet Kartaredjasa menyatakan bahwa Maudy telah membawa literasi populer ke tingkat yang lebih reflektif dan filosofis, menjembatani antara generasi muda dan nilai-nilai kontemplatif yang sering terlupakan.


Sesi Diskusi & Tour Literasi Nasional

Maudy mengumumkan bahwa ia akan menggelar tur literasi nasional bertajuk “Menyimak Sunyi”, yang akan mengunjungi 10 kota besar di Indonesia, termasuk Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, dan Medan. Setiap sesi akan diisi dengan diskusi, pembacaan puisi, serta pertunjukan musik akustik.

Ia juga membuka program residensi menulis untuk perempuan muda yang akan dilaksanakan di Ubud, Bali, pada akhir tahun ini, bekerja sama dengan komunitas penulis Bali Emerging Voices.


Maudy, Antara Popularitas dan Keheningan

Kesuksesan Maudy dalam berbagai bidang—akademik, film, musik, hingga aktivisme—menjadikannya salah satu sosok publik paling berpengaruh dan multitalenta di Indonesia. Namun dalam buku ini, ia secara jujur mengakui bahwa di balik citra kuatnya, ia juga sempat mengalami fase-fase krisis eksistensial, pertanyaan tentang arah hidup, dan tekanan untuk selalu tampil sempurna.

“Sunyi bukan lawan dari sukses. Kadang dari sunyilah lahir keberanian untuk terus menjadi manusia, bukan sekadar simbol,” ucap Maudy dalam sesi peluncuran.


Penutup

Simfoni Sunyi bukan hanya buku, melainkan cermin jiwa seorang Maudy Ayunda—yang peka, cerdas, dan tak takut mengeksplorasi kedalaman batin di tengah gemerlap sorotan. Dalam dunia yang terus bergerak cepat, ia mengingatkan kita bahwa kadang, diam adalah bentuk paling jujur dari pencarian makna.